- Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya ada seorang lelaki berkata kepada Nabi s.a.w.: “Berilah wasiat padaku.” Beliau s.a.w. bersabda: “Jangan marah.” Orang itu mengulanginya berkali-kali tetapi beliau s.a.w. tetap bersabda: “Janganlah marah.” (Riwayat Bukhari)
Keterangan: Yang perlu dijelaskan sehubungan dengan Hadis ini ialah:
(a) Orang yang bertanya itu menurut riwayat ada yang mengatakan dia itu ialah Ibnu Umar, ada yang mengatakan Haritsah atau Abuddarda’. Mungkin juga memang banyak yang bertanya demikian itu.
(b) Kita dilarang marah ini apabila berhubungan dengan sesuatu yang hanya mengenai hak diri kita sendiri atau hawa nafsu. Tetapi kalau berhubungan dengan hak-hak Allah, maka wajib kita pertahankan sekeras-kerasnya, misalnya agama Allah dihina orang, al-Quran diinjak-injak atau dikencingi, alim ulama diolok-olok padahal tidak bersalah dan lain-lain sebagainya.
(c) Yang bertanya itu mengulangi berkali-kali seolah-olah meminta wasiat yang lebih penting, namun beliau tidak menambah apa-apa. Hal ini karena menahan marah itu sangat besar manfaat dan faedahnya. Cobalah kalau kita ingat-ingat, bahwa timbulnya semua kerusakan di dunia ini sebagian besar ialah karena manusia ini tidak dapat mengekang hawa nafsu dan syahwatnya, tidak suka menahan marah, sehingga menimbulkan darah mendidih dan akhirnya ingin menghantam dan membalas dendam.
- Dari Abu Hurairah r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Tidak henti-hentinya bencana – bala’ – itu mengenai seseorang mu’min, lelaki atau perempuan, baik dalam dirinya sendiri, anaknya ataupun hartanya, sehingga ia menemui Allah Ta’ala dan di atasnya tidak ada lagi sesuatu kesalahanpun.” Diriwayatkan oleh Imam Termidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah Hadis hasan shahih.
- Dari ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, katanya: ‘Uyainah bin Hishn datang – di Madinah, kemudian turun – sebagai tamu – pada anak saudaranya – sepupunya – yaitu Alhur bin Qais. Alhur ‘Adalah salah seorang dari sekian banyak orang-orang yang didekatkan oleh Umar r.a. – yakni dianggap sebagai orang dekat dan sering diajak bermusyawarah, karena para ahli baca al-Quran – yang pandai maknanya – adalah menjadi sahabat-sahabat yang menetap di majlis Umar r.a. serta orang-orang yang diajak bermusyawarah olehnya, baik orang-orang tua maupun yang masih muda-muda usianya. ‘Uyainah berkata kepada sepupunya: “Hai anak saudaraku engkau mempunyai wajah – banyak diperhatikan – di sisi Amirul mu’minin ini. Cobalah meminta izin padanya supaya aku dapat menemuinya.
Saudaranya itu memintakan izin untuk ‘Uyainah lalu Umarpun mengizinkannya. Setelah ‘Uyainah masuk, lalu ia berkata: “Hati-hatilah,hai putera Alkhaththab – yaitu Umar, demi Allah, tuan tidak memberikan banyak pemberian – kelapangan hidup – pada kita dan tidak pula tuan memerintah di kalangan kita dengan keadilan.”
Umar r.a. marah sehingga hampir-hampir saja akan menjatuhkan hukuman padanya. Alhur kemudian berkata: “Ya Amirul mu’minin, sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman kepada NabiNya s.a.w. – yang artinya: “Berilah maaf, perintahlah kebaikan dan berpalinglah – jangan menghiraukan – pada orang-orang yang bodoh.” Dan ini – yakni ‘Uyainah – adalah termasuk golongan orang-orang yang bodoh. Demi Allah, Umar tidak pernah melaluinya – melanggarnya – di waktu Alhur membacakan itu. Umar adalah seorang yang banyak berhentinya – amat mematuhi – di sisi Kitabullah Ta’ala. (Riwayat Bukhari)